Senin, 22 Oktober 2012

Seks Suami-Istri JIKA BEDA USIA JADI KENDALA


Meski tidak mutlak, beda usia bisa menjadi batu sandungan dalam keharmonisan hubungan seks suami-istri. Meski terdengar klise, tetapi komunikasi dan saling memahami jadi kunci pencegahannya.
Pernahkah Anda melihat pasangan suami-istri yang sangat jauh jarak usianya? Misalnya, suami sudah kepala enam, sementara istri masih muda belia. Atau sebaliknya, istri sudah lanjut, suami masih gagah-perkasa. Bagaimana kehidupan seksual mereka?
Umumnya, usia suami (usia kalender) memang lebih tua dibandingkan usia istri. “Perempuan, secara psikis atau kematangan pribadi, memang lebih cepat tua dibanding laki-laki. Begitu memasuki usia dewasa, mereka akan lebih matang 5 tahun dibandingkan pria. Nah, agar tingkat kedewasaan seimbang, maka idealnya usia suami memang lebih tua,” saran dr. H. Bambang Sukamto, DMSH.

Lebih lanjut, konsultan seks dari klinik On Clinic Indonesia ini menjelaskan, “Ada rumus, pada saat menikah, idealnya usia wanita separuh umur pria ditambah 7.” Misalnya, jika suami berusia 30 tahun, maka idealnya sang istri berusia setengah usia suami ditambah 7. “Jadi, sekitar 22-23 tahun.” Tapi,  tentu saja, rumus ini tidak mutlak, dan hanya sebagai pegangan. “Ada juga, kok, pria yang lebih cepat dewasa, atau perempuan yang masih belum dewasa juga meski usianya sudah cukup. Yang harus dilihat sebetulnya tingkat kedewasaan, bukan usia. Banyak juga pasangan suami-istri yang tetap harmonis meski usianya terpaut jauh.”

Dari segi fisik dan psikis, perbedaan usia yang sangat jauh memang bisa menimbulkan masalah. Misalnya, jika usia suami sudah lanjut, sementara istri masih muda dan masih di puncak gairah. “Suami sudah mengalami kemunduran fungsi seksual dan tidak bisa memuaskan istri. Ini bisa berakibat buruk, dari konflik biasa, perselingkuhan, sampai perceraian,” jelas Bambang.
Begitupun jika istri jauh lebih tua. “Gairah sudah menurun, bahkan sudah hilang pada masa menopause, sementara suami sedang hot-hot-nya. Ini tentu akan menjadi masalah dan bisa membuat hubungan tidak harmonis, kecuali ada toleransi yang tinggi dari suami/istri yang jauh lebih muda.” Bedanya, lanjut Bambang, perempuan kini sudah lebih berani menuntut haknya, termasuk dalam hal kenikmatan seksual. “Akhirnya, yang terjadi bisa istri selingkuh atau bercerai, karena ia tidak memperolehnya dari suaminya,” tambah Bambang.

PIKIRKAN DULU
Meski tidak bisa dipukul rata, faktor usia, termasuk perbedaan usia, memang perlu dipertimbangkan masak-masak sebelum menikah. Pria dipengaruhi oleh hormon testosteron (androgen), termasuk gairah seksualnya. Misalnya, pada usia akil balig dan dewasa (di usia 17-25 tahun), gairah pria sedang berada pada puncaknya, karena produksi hormon testosteron juga masih pada puncaknya. Secara perlahan, seiring bertambahnya usia, produksi hormon ini akan menurun, lalu stabil sampai usia 40 tahun. “Penurunannya begitu lambat, sehingga baru akan mencapai titik nol pada saat seorang pria berusia sekitar 90 tahun. Ini yang membuat sepertinya gairah pria tidak pernah padam,” jelas Bambang.

Berbeda dengan perempuan, yang dipengaruhi oleh hormon estrogen, yang antara lain mengatur siklus haid dan juga gairah seksual. “Pada perempuan, hormon ini akan menurun dengan tajam dan akan mencapai titik nol pada usia 50-an saat mereka mengalami masa menopause atau mati haid. Jadi, penurunannya jauh lebih drastis,” kata Bambang.

Secara psikis dan fisik, ini tentu akan memengaruhi kemampuan seksual seseorang. Padahal, menurut Bambang, faktor seks cukup besar pengaruhnya terhadap keharmonisan suami-istri. “Hubungan seks yang positif tentu akan berpengaruh juga terhadap keharmonisan rumahtangga. Belum ada penelitian, tapi pengaruhnya bisa mencapai 30 persen,” tambahnya. Selain mendapatkan kepuasan/kenikmatan, seks yang baik juga akan semakin meningkatkan rasa saling memiliki dan saling mencintai dari pasangan suami-istri.

Ini berbeda dengan urusan ekonomi atau masalah anak, misalnya. “Suami atau istri masih bisa mengajak orang lain (orang ketiga) untuk berdiskusi atau curhat. Sementara untuk urusan seks, biasanya mereka enggan curhat ke orang lain dan cenderung menutup-nutupi. Suami tidak akan mau mengakui dirinya sudah ‘loyo’ di depan orang lain.”

BANTUAN TERAPI 
Lantas, bagaimana solusinya? Jika muncul masalah akibat beda usia, maka penyelesaiannya harus menyentuh faktor psikis dan fisik. Misalnya, suami yang usianya jauh lebih tua ketimbang istri dan kemampuan seksnya sudah menurun. “Istri harus mau membantu suami agar bisa memenuhi kebutuhan seksnya, contohnya dengan berobat atau meminum ramuan/obat.” Paling tidak, lanjut Bambang, ini akan membantu meningkatkan kemampuan seks suami. “Tapi jangan berharap kemampuan seks suami bisa kembali seperti usia 30. Yang penting bisa memperbaiki kemampuan seks sampai pada tingkat bisa melaksanakan kewajiban.”

Wanita pun begitu, apalagi kalau sudah masuk masa menopause. “Gairah dan alat-alat reproduksi sudah menurun fungsinya. Contohnya, perlendiran di vagina berkurang, sel selaput lendir mulai menipis, sehingga setiap melakukan hubungan seks selalu muncul rasa nyeri. Ini yang sebetulnya membuat perempuan tidak bisa lagi mendapatkan kenikmatan seksual. Akibatnya, mereka seringkali menolak (reject) melakukan hubungan seksual, dengan berbagai alasan,” jelas Bambang.
Dalam batas-batas tertentu, ini masih bisa diperbaiki. Misalnya, untuk memperbaiki fungsi hormon estrogen yang hilang, bisa dilakukan terapi sulih hormon. Kondisi fisik diupayakan akan kembali seperti sebelum menopause. “Tentu tidak bisa sama persis. Cukup sebatas mengembalikan fungsi seksual.

Misalnya, yang kurang berlendir jadi berlendir, yang menipis bisa sedikit menebal,” lanjut Bambang.
Selain terapi sulih hormon, penggunaan obat-obatan yang sifatnya lokal, seperti vaginal cream/gel, sebelum melakukan hubungan seks juga bisa dipakai. “Sebaiknya berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan dosis yang tepat dan durasi (berapa lama) obat atau terapi tersebut dipakai.”
Selain faktor fisik, faktor psikis juga harus diperhatikan. “Penanganannya harus sinkron, meski terkadang titik beratnya pada satu masalah saja,” terang Bambang. Contohnya, suami yang berusia lanjut atau punya penyakit tertentu, yang memengaruhi kemampuan seksualnya. “Yang harus diatasi dan yang utama memang gangguan fisiknya, tapi faktor psikis juga tidak boleh dikesampingkan. Karena faktor psikis ini bisa makin memperburuk kondisinya.

Itu sebabnya, jasa psikolog, psikiater, atau konsultan perkawinan dibutuhkan. Masalah keluarga akibat persoalan ekonomi, misalnya suami berpenghasilan jauh di bawah istri, atau masalah mendidik anak, seringkali mudah diungkap di depan orang lain/konsultan. “Tapi tidak demikian halnya dengan masalah seks. Seorang pria pasti akan susah mengakui bahwa ia sudah tidak berdaya dalam hal seks.”
SALING MENYADARI Perbedaan usia memang sering dan bisa menimbulkan masalah, karena adanya perbedaan kondisi fisik dan psikis. “Tapi, sepanjang kedua pihak bisa berkomunikasi dan saling mengerti, ini bisa diatasi atau disiasati, kok. Kedua pihak juga harus punya niat membahagiakan atau memberikan sesuatu kepada orang yang mereka cintai. Kalau ini dasarnya, apa pun masalah yang ada, seharusnya bisa diatasi,” ujar Bambang.

Prisip pernikahan, menurut Bambang, adalah saling memberi, bukan menuntut. “Begitu dirasakan ada masalah, sebaiknya segera berkomunikasi dan cari jalan keluar. Jangan malah saling menyalahkan atau tidak mau tahu.” Sebaiknya, pasangan yang menikah dengan usia terpaut jauh sejak awal pernikahan juga sudah menyadari risikonya. “Jadi, begitu muncul kendala, misalnya suami merasa istri sudah tidak bergairah atau istri merasa suami sudah loyo, mereka bisa cepat mencari bantuan. Entah ke dokter, psikolog, atau konsultan perkawinan. Yang jelas, jangan saling menyalahkan, karena hanya akan makin menambah beban pasangan.”

JENUH BIKIN KERUH
 Bagaimana jika persoalannya adalah jenuh pada pasangan?      “Jenuh itu biasa dan memang salah satu pemicu konflik suami-istri. Ngakunya jenuh, tak lagi bergairah pada pasangan, tapi kalau pada orang lain masih bergairah,” jelas Bambang. “Itu tandanya secara fungsi, organ-organ reproduksi masih baik.

Bambang mengibaratkan orang yang setiap hari makan daging ayam. “Pasti akan bosan juga, kan.” Untuk menyiasatinya, saran Bambang, adalah dengan melakukan variasi hubungan intim. “Variasi waktu, gaya, tempat, posisi, dan sebagainya.” Misalnya, sesekali pilih tempat romantis, atau berganti posisi hubungan intim. “Bisa juga mengganti waktu hubungan intim, jangan hanya malam hari  melulu.”

Jadi, lanjutnya, “Ibarat makan daging ayam, harus dibuat variasi masakan. Hari ini opor, besok sate, dan seterusnya,” lanjut Bambang. Yang jelas, “Ini harus dikomunikasikan. Jangan membuat variasi tanpa mengajak pasangan komunikasi, misalnya. Bisa-bisa pasangan malah bertanya-tanya dan curiga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar